12 Maret 2009

MANFAAT ASI


Akhir-akhir ini gerakan yang mengajak untuk kembali pada ASI semakin terdengar, terlebih setelah beberapa artis terpilih menjadi duta ASI. Banyak media cetak untuk kesehatan orangtua dan anak mempublikasikan manfaat ASI dalam artikel-artikelnya. Namun, gaung yang semakin bergema di kota-kota besar itu belum menunjukkan efek menggembirakan karena ternyata beragam informasi tersebut belum terserap merata di seluruh Indonesia, atau katakanlah di ibukota-ibukota provinsi di Indonesia. Penunjukkan artis sebagai duta ASI belum menyentuh sebagian besar masyarakat Indonesia, karena nyatanya yang banyak mengikuti dan memiliki akses untuk memperoleh informasi sebagaimana yang diusung sang duta ASI hanyalah masyarakat golongan tertentu, yaitu mereka dari kelas menengah-atas. Para ibu dari daerah menengah-miskin sebagian besar nyaris belum pernah mendengar adanya duta ASI dan gerakan ASI. Bahkan para petugas medis yang selama ini diharapkan menjadi andalan informasi oleh para ibu di kota besar, kabupaten maupun di desa-pun belum memberikan informasi memadai mengenai manfaat ASI.

Dari hasil obrolan singkat saya dengan beberapa ibu yang ditemui di beragam tempat (pasar, perumahan, apotik, universitas, perkantoran, dll) hampir semuanya belum pernah mendengar tentang gerakan ASI yang menyebarkan informasi manfaat ASI dan mengakomodasi para ibu untuk memilih berdasarkan informasi yang sebenarnya. Oleh karenanya banyak yang lebih memilih susu formula daripada ASI.
Lebih menyedihkan lagi , beberapa orang ibu telah memberikan makanan pendamping ASI kepada bayinya dibawah usia minimal yaitu 6 bulan (rekomendasi UNICEF, 1997). Alasan yang paling sering didengar adalah bahwa bayinya tampak tidak segemuk bayi susu formula, bayinya jarang BAK&BAB, atau mitos bahwa bayi akan menolak makanan padat bila terus-menerus diberi ASI ekslusif. Hal ini tentu saja tidak benar. ASI sebagaimana telah diciptakan ALLAH merupakan makanan terbaik bagi bayi dan layak diteruskan walaupun sang anak telah mencapai usia 2 tahun (Al-Quran, surah Luqman, 31:14) dan bahkan tidak dapat disetarakan dengan susu atau makanan lain buatan manusia.

Mari kita sama-sama berpikir lebih dalam mengapa ALLAH memberikan ASI bagi manusia? Bilamana ASI tidak bermanfaat tentunya ALLAH tidak akan menciptakan ASI untuk kita. Sebagai informasi tambahan, pada tahun 1997, UNICEF mengeluarkan rekomendasi baru (memperbarui rekomendasi dalam Innocenti Declaration, 1990) mengenai usia minimal pemberian makanan pendamping ASI (MPASI), dari 4 bulan menjadi 6 bulan. Tentunya UNICEF tidak sembarangan dalam mengeluarkan sebuah rekomendasi apalagi yang menyangkut kesehatan manusia. Berbagai penelitian dalam waktu yang tidak singkat telah dilakukan guna memberikan rekomendasi kesehatan terbaik bagi umat manusia. Jadi jelas bahwa mitos keengganan bayi untuk mengkonsumsi makanan padat bila hanya diberi ASI ekslusif (hanya ASI selama 6 bulan pertama) adalah pendapat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi kesehatan maupun moral, bahkan dapat membahayakan nyawa sang bayi. Disinilah perlunya penyebaran informasi akan manfaat ASI secara lebih komprehensif. Berbagai pihak perlu dilibatkan agar target tersebarnya informasi secara lebih merata di seluruh tanah air dapat tercapai.
Dalam hal dukungan ASI dalamseluruh aspek kehidupan, Indonesia perlu berkaca pada Norwegia. Disaat negara-negara maju seperti AS masih bergulat dengan perjuangan meyakinkan para ibu untuk memberikan ASI, Norwegia telah memetik buah kesuksesan dari promosi manfaat ASI. Di negara tersebut, para ibu menyusui bayinya dengan ASI dimanapun dan kapanpun, di tempat-tempat umum seperti restoran, taman kota, dan bahkan di halte-halte bis. Amat jarang ditemui ibu yang meninggalkan rumah bersalin tanpa menyusui bayinya yang baru lahir atau meminta susu formula sebagai pengganti ASI. Para ibu bekerja memperoleh waktu selama 2 jam sehari untuk pulang kerumah dan menyusui bayinya atau menyusui di kantor. Tidak hanya itu, para ibu memperoleh cuti pasca melahirkan selama 48 minggu atau satu tahun dengan tetap menerima gaji!!! Atau cuti selama 52 minggu dengan memperoleh 80 persen dari gaji pokok (Hege Jacobson Lepri, Oslo, Norway dalam situs INFACT Canada). Hal serupa memang belum ditemui di Indonesia, tetapi hal itu tidak menjadi sebuah pembenaran untuk tidak memberikan ASI bila sang ibu layak secara medis, karena pada dasarnya pemberian ASI adalah pilihan bebas sang ibu berdasarkan informasi sebenarnya dan hati nurani.
Di negara perdana menteri Jens Stoltenberg tersebut terdapat tekanan yang begitu besar terhadap para ibu untuk menyusui bayinya, terlebih jumlah produk susu formula yang beredar di negara tersebut sangatlah sedikit dibandingkan di AS. Adalah hal yang biasa bagi para orangtua di AS untuk menerima produk promosi susu formula saat mereka hendak melangkah keluar rumah bersalin. Hal ini tidak dimungkinkan di Norwegia, karena permintaan akan susu formula sangat rendah dan bahkan iklan susu formula bayi secara resmi dilarang oleh pemerintah (The New York Times, 2003). Bandingkan dengan kondisi di Indonesia dimana stigma bayi montok sangat merasuk di pikiran para ibu sehingga mengupayakan beragam cara untuk mencapai citra bayi montok tersebut.

Kesuksesan Norwegia memang tidak lepas dari peran besar pemerintah dalam penyebaran informasi manfaat ASI, namun tanpa peran masyarakat, program sosialisasi ASI tentu tidak akan berhasil. Masyarakat Norwegia terbiasa untuk menerima dan kemudian mengikuti informasi yang memang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, apakah mengenai pendidikan, gaya hidup maupun kesehatan. Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang lebih mengikuti apa yang menjadi tren masyarakat (atau lebih tepatnya tekanan dari masyarakat?) tanpa mengetahui dengan pasti kebenarannya. Karenanya jangan heran bila banyak ibu lebih percaya mitos atau pendapat masyarakat dibandingkan rekomendasi kesehatan dari AL-Quran, jurnal kesehatan maupun UNICEF.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar